Foto: La Gufran, Kabid Politik dan Hukum DPC GMNI Baubau/MEDIA GMNI SULTRA.
Penulis: La Gufran, Kabid Politik dan Hukum DPC GMNI Baubau.
Marhaenist.id - Setelah runtuhnya masa orde baru dan memasuki masa Reformasi yang dimana hal ini dianggap sebagai angin segar untuk mewujudkan suatu negara yang demokrasi, dimana kebebasan berpendapat dan berekspresi bisa dilakukan dengan aman. Namun nyatanya hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang kita saksikan saat ini.
Pada hari ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (27/10/2025), resmi menolak gugatan praperadilan yang diajukan Delpedro Marhaen Rismansyah, aktivis muda sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru.
Dalam putusannya, hakim menilai bahwa penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya sudah sah secara hukum dan sesuai prosedur.
Dengan demikian, Delpedro tetap berstatus tersangka dalam kasus dugaan penghasutan terkait aksi demonstrasi yang digelar di bulan Agustus.
Putusan penolakan tersebut dapat dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi kaum muda yang selama ini aktif mengkritisi ketimpangan sosial dan politik.
Delpedro hanyalah salah satu dari banyak suara muda yang berani menyuarakan keadilan.
Jika suara seperti ini dibungkam melalui proses hukum, maka demokrasi kita sedang kehilangan marwahnya di Negri yang katanya menjamin setiap orangnya untuk bebas berekspresi untuk menyampaikan pendapatnya.
Saya menegaskan, kriminalisasi terhadap aktivis muda dapat menciptakan ketakutan struktural yang membungkam partisipasi politik generasi baru serta untuk terus dapat menyuarakan ketimpangan yang ada di tubuh pemerintah.
Kasus Delpedro bukanlah yang pertama. Sudah banyak aktivis muda di berbagai daerah menghadapi proses hukum serupa dengan tuduhan penghasutan atau pelanggaran UU ITE saat menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Kondisi ini memperlihatkan pola pembungkaman yang semakin sistematis, di mana hukum digunakan sebagai alat pengendali sosial terhadap gerakan pemuda.
"Ini bukan hanya soal Delpedro, tapi soal masa depan kebebasan berekspresi di Indonesia”.
Meski hakim menegaskan bahwa proses hukum terhadap Delpedro bersifat objektif, banyak pihak menilai bahwa substansi kasusnya lebih politis ketimbang yuridis. Ketika ekspresi sosial dan advokasi publik dihadapkan pada ancaman pidana, ruang demokrasi otomatis menyempit.
Dalam konteks ini, keputusan hakim tidak hanya menolak gugatan praperadilan, tetapi juga menandai babak baru relasi antara negara dan warganya khususnya generasi muda yang kritis terhadap kekuasaan.
Kasus ini menjadi cermin bahwa perjuangan untuk menjaga ruang demokrasi dan suara kaum muda belum selesai dan justru sedang diuji di tengah ancaman pembungkaman yang kian nyata.
Kasus Delpedro Marhaen menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu dan parlemen, tapi juga keberanian anak muda untuk bersuara. Dan ketika suara itu mulai dibungkam, di sanalah ujian sejati kebebasan dimulai.***



