
BUSEL, GMNISULTRA.OR.ID — Suhu politik di Kabupaten Buton Selatan (Busel) kian memanas setelah munculnya saling lapor antara Bupati Muhammad Adios dan Wakil Bupati La Ode Risawal ke aparat penegak hukum.
Perselisihan antar pucuk pimpinan daerah ini mendapat sorotan tajam dari Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Baubau, yang menilai konflik tersebut sebagai bentuk ketidakdewasaan kepemimpinan lokal.
Ketegangan ini bermula dari dinamika pasca-Pilkada 2024. Empat pasangan calon sebelumnya telah mendaftar ke KPU Busel, dengan pasangan Muhammad Adios – La Ode Risawal ditetapkan sebagai pemenang melalui rekapitulasi resmi.
Namun, proses pemilihan diwarnai tudingan politik uang dari Paslon Nomor 4 (Hardodi – La Ode Amiruddin) yang menyebut adanya praktik money politic secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Mahkamah Konstitusi pada akhirnya menolak permohonan sengketa hasil pemilihan dengan alasan melewati tenggat waktu.
Memasuki masa pemerintahan, hubungan Bupati dan Wakil Bupati diduga merenggang setelah muncul laporan hukum yang saling menyerang.
Barisan Pemuda Buton Selatan melaporkan Wakil Bupati ke Kejari atas dugaan penyimpangan anggaran perjalanan dinas.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Barakati melaporkan Bupati Muhammad Adios atas dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme terkait kebijakan anggaran serta proyek daerah.
DPC GMNI Baubau melalui Ketua DPC La Ode Ahmad Faisal menilai aksi saling lapor tersebut sebagai bukti kegagalan komunikasi dan kepemimpinan.
"Perselisihan yang terjadi bukan sekadar dinamika biasa, melainkan krisis kepemimpinan yang memperlihatkan bagaimana kekuasaan lebih diprioritaskan daripada kepentingan masyarakat. Ini adalah bukti nyata ketidakdewasaan kepemimpinan daerah," ujar Faisal.
GMNI menegaskan bahwa konflik seharusnya diselesaikan melalui mekanisme dialog internal, bukan melalui demonstrasi maupun pelaporan pidana yang dapat memperburuk citra pemerintahan.
"Bupati dan Wakil Bupati semestinya menyelesaikan persoalan melalui mekanisme mediasi internal, bukan melalui demonstrasi, tuduhan publik, dan jalur hukum yang dapat memperburuk citra institusi pemerintahan," sambung Faisal.
Menurut GMNI, perseteruan antar pimpinan daerah berpotensi mengganggu tata kelola pemerintahan, menurunkan kepercayaan publik, serta membuka risiko polarisasi akibat proses hukum yang mungkin berlanjut.
"Dua arah pelaporan ini sebagai bentuk retaknya koordinasi dan kemitraan politik yang seharusnya menjadi fondasi pemerintahan. Konflik tersebut berpotensi mengganggu tata kelola daerah, merusak kepercayaan publik, serta menciptakan instabilitas pemerintahan," lanjut Faisal.
Organisasi mahasiswa itu mendesak kedua pihak untuk menahan diri, membuka ruang mediasi, serta mengutamakan stabilitas pemerintahan dan pelayanan publik.
"Kedua pimpinan daerah tersebut harus segera menghentikan eskalasi konflik dan kembali fokus pada pelayanan publik," tambah Faisal.
Konflik internal elite Busel dinilai mencerminkan friksi kepentingan yang lebih dalam, sementara keterlibatan kelompok masyarakat sipil seperti BPBS dan GMNI menunjukkan meningkatnya partisipasi publik dalam pengawasan politik daerah.
Dari itu, GMNI menyerukan agar proses hukum ditangani secara transparan dan adil, serta meminta masyarakat tetap terlibat aktif dalam memantau kebijakan pemerintah.
"Kami menuntut adanya transparansi proses hukum di kejaksaan serta mengajak masyarakat untuk turut mengawasi kebijakan dan anggaran daerah," seru Faisal.
Menutup pernyataannya, GMNI mendesak Bupati dan Wakil Bupati segera menyelesaikan konflik secara dewasa demi menjaga stabilitas politik dan kelangsungan pembangunan di Buton Selatan.
"Konflik elite di Buton Selatan tidak boleh terus berlarut dan harus segera dihentikan demi menjaga stabilitas politik, keberlanjutan pembangunan, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah," tandas Faisal.***
By: DPC GMNI BAUBAU.


