![]() |
Foto: Difiarto, Kader GMNI Baubau-Sultra/MEDIA GMNI SULTRA. |
Penulis: Difiarto, Kader GMNI Baubau.
GMNISULTRA.OR.ID - Marhaenisme, sebagai warisan ideologis dari Soekarno, pada hakikatnya adalah sebuah gerakan pembebasan rakyat tertindas. Ia berpijak pada kenyataan sosial-ekonomi masyarakat kecil para petani, buruh miskin, nelayan tradisional, dan kaum kecil lainnya yang dalam istilah Bung Karno disebut sebagai “kaum Marhaen.” Namun, dalam dinamika kontemporer, terutama dalam gerakan sosial dan politik pascareformasi, Marhaenisme justru kerap tampil sebagai simbol kosong: bendera merah dengan gambar Soekarno, jargon anti-imperialisme, dan retorika revolusi yang kehilangan akar. Fenomena ini menciptakan sebuah ironi besar: Marhaenisme yang kehilangan rakyatnya.
Marhaenisme terus disebut-sebut, tetapi rakyat khususnya kelas pekerja, petani miskin, dan kaum marginal lainnya semakin tercerabut dari gerakan yang mengklaim memperjuangkan mereka. Marhaenisme yang dahulu lahir dari relasi langsung Bung Karno dengan rakyat tertindas, kini cenderung hidup dalam dunia simbol dan seremoni, terlepas dari praksis kerakyatan yang seharusnya menjadi denyut nadi utamanya.
Marhaenisme tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari akar realitas konkret rakyat Indonesia yang tertindas. Bung Karno memformulasikan Marhaenisme setelah melihat bahwa rakyat Indonesia bukan proletar dalam pengertian Marx, melainkan petani kecil yang memiliki alat produksi sendiri namun tetap tak berdaya menghadapi sistem kapitalisme kolonial. Dari situlah lahir konsep Marhaen: simbol rakyat kecil yang bekerja keras namun tetap miskin karena struktur ekonomi-politik yang timpang.
Marhaenisme sebagai Ideologi Praksis, Bukan Retorika
Bung Karno tidak merumuskan Marhaenisme dari teori buku semata. Ia melihat langsung bagaimana rakyat Indonesia, seperti Marhaen sang petani miskin di Bandung, bekerja keras di tanahnya sendiri namun tetap miskin karena sistem ekonomi yang menindas. Dari situ, Soekarno membangun gagasan bahwa penjajahan bukan hanya berbentuk fisik oleh bangsa asing, tapi juga struktural oleh sistem kapitalisme dan imperialisme global (Soekarno 1963).
Marhaenisme menyatukan nasionalisme, sosialisme, dan humanisme dalam satu kerangka perjuangan emansipatoris. Dalam pandangan Soekarno, rakyat bukanlah objek belas kasihan, melainkan subjek sejarah. Mereka adalah kekuatan pengubah keadaan, yang jika diberdayakan dan disadarkan secara politik, mampu mengguncang kekuasaan yang timpang (Said 1986).
Namun hari ini, semangat praksis itu menghilang. Banyak kelompok yang mengaku Marhaenis justru menjadikan ideologi ini sebagai slogan kosong, bukan kerangka kerja politik yang konkret dan membumi.
Gerakan Mahasiswa Marhaenis yang Lumpuh dalam Ideologi
Organisasi mahasiswa berhaluan Marhaenis juga mengalami degradasi parah. Dulu, mereka dikenal sebagai garda terdepan dalam membela kaum tertindas, lantang menyuarakan ketidakadilan, dan konsisten turun ke jalan untuk mengawal demokrasi. Kini, sebagian besar terjebak dalam politik struktural yang pragmatis, sibuk dengan urusan jabatan internal, kongres, dan persaingan internal yang tidak berorientasi pada gerakan rakyat.
Pendidikan ideologi yang dulunya menjadi jantung gerakan kini hanya menjadi ritual tahunan. Dialektika digantikan doktrin. Diskusi digantikan kultus tokoh. Keberanian melawan kekuasaan digantikan perburuan akses terhadapnya. Mereka lebih dekat ke ruang legislatif daripada ke tanah rakyat yang digusur. Lebih akrab dengan pemodal daripada dengan nasib buruh pabrik atau nelayan yang tanahnya dirampas.
Inilah bentuk paling tragis dari pengkhianatan ideologis, ketika kaum yang seharusnya menjaga nyala api perjuangan justru memadamkannya demi kenyamanan di bawah naungan kekuasaan.
Dalam gerakan sosial kontemporer para aktor semakin menjauh dari basis massa. Banyak aktivis dan intelektual muda lahir dari kelas menengah terdidik yang akrab dengan teori kiri, tetapi tidak akrab dengan realitas rakyat. Mereka membentuk lingkaran diskusi, forum akademik, dan kanal media sosial namun absen dari ladang, pabrik, atau kampung kumuh tempat rakyat hidup dan berjuang. Rakyat tetap menjadi objek, bukan subjek perjuangan.
Salah satu bentuk pengkhianatan yang paling dalam adalah penghancuran kesadaran ideologis dari dalam. Organisasi Marhaenis hari ini menyelenggarakan pelatihan, diskusi, dan peringatan hari besar ideologi hanya sebagai seremoni formalitas. Bung Karno diabadikan dalam spanduk dan logo, tetapi ajarannya tidak dikaji secara kontekstual dan dialektis. Marhaenisme menjadi nostalgia, bukan pedoman perjuangan.
Dalam situasi ini, generasi muda tidak tumbuh dengan keberanian untuk menantang status quo, melainkan diajari bagaimana menjadi bagian dari sistem yang ada. Mereka tidak diajarkan untuk menjadi “batu kerikil dalam sepatu kekuasaan”, melainkan justru menjadi bagian dari infrastruktur kekuasaan itu sendiri
Media Sosial dan Ilusi Keterlibatan Politik
Media sosial memberikan ruang ekspresi politik yang luas, tetapi sekaligus menciptakan ilusi keterlibatan. Banyak aktivis percaya bahwa posting dan diskusi daring cukup untuk membangun kesadaran rakyat. Padahal, seperti diingatkan oleh Paulo Freire (2005), kesadaran sejati lahir dari pengalaman langsung rakyat dalam memahami dan mengubah dunia mereka.
Tanpa kerja pengorganisasian, pendidikan politik, dan mobilisasi struktural, gerakan hanya akan menjadi riuh di permukaan, tanpa akar. Marhaenisme, sebagai ideologi praksis, tidak bisa direduksi menjadi konten digital. Ia harus hidup dalam kehidupan sehari-hari rakyat, dalam kerja kolektif yang membangun kekuatan bersama.
Marhaenisme tanpa rakyat adalah kontradiksi. Ia bukan sekadar kehilangan makna, tetapi menjadi alat legitimasi kekuasaan yang semula hendak ia lawan. Ketika simbolisme menggantikan substansi, ketika kata-kata lebih lantang dari kerja nyata, maka Marhaenisme hanya menjadi fosil ideologis yang dipamerkan dalam ritual politik tanpa keberanian transformatif.
Kini saatnya untuk menolak kosmetika ideologis. Marhaenisme harus kembali menjadi alat perjuangan yang hidup, yang hadir di tengah rakyat, dan yang mampu membebaskan. Sebab Marhaen sejati bukan hanya petani miskin di Bandung tempo dulu, tetapi setiap rakyat tertindas hari ini yang belum merasakan kemerdekaan sejati.
Marhaenisme bukan untuk dikutip, tetapi a untuk dijalankan !!!**