Oleh: Novi Astuti, Kader GMNI Kendari.
GMNISULTRA.OR.ID - Aksi demonstrasi merupakan salah satu wujud demokrasi yang sah dalam menyampaikan aspirasi rakyat.
Namun, ketika aksi tersebut berubah menjadi perusakan fasilitas negara dan tindak anarkis, nilai perjuangan yang diusung justru kehilangan makna.
Kasus yang terjadi di Makassar pada 29 Agustus 2025 menjadi contoh nyata bagaimana aspirasi yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat justru berbalik merugikan rakyat itu sendiri.
Dalam negara demokrasi, unjuk rasa adalah instrumen penting untuk mengontrol kekuasaan.
Rakyat berhak menyuarakan kritik, menyampaikan tuntutan, bahkan melakukan penolakan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan.
Namun, demokrasi memiliki batas kebebasan tidak boleh berubah menjadi perusakan.
Ketika demonstrasi merusak fasilitas publik, membakar kantor DPRD, dan menghancurkan kendaraan dinas, sesungguhnya yang menjadi korban pertama adalah rakyat.
Mengapa demikian ? Karen fasilitas negara tidak hadir begitu saja. Semua itu dibangun dengan dana publik, melalui pajak yang dikumpulkan dari masyarakat.
Kerusakan terhadap kantor DPRD, kendaraan, maupun fasilitas publik lainnya, secara langsung adalah kerusakan terhadap hasil kerja kolektif rakyat.
Tindakan destruktif ini tidak hanya menambah beban biaya negara, tetapi juga memperlambat pelayanan publik dan merusak legitimasi gerakan itu sendiri.
Dalam konteks Makassar, aksi yang mulanya bertujuan menyampaikan kritik terhadap pemerintah, justru kehilangan arah ketika berubah menjadi kerusuhan.
Alih-alih memperkuat posisi rakyat, tindakan itu justru melemahkan simpati publik.
Aspirasi yang hendak disampaikan tidak lagi terdengar karena tertutup oleh asap pembakaran dan suara kaca yang pecah.
Fenomena ini menunjukkan paradoks demokrasi di Indonesia. ruang untuk bersuara ada, tetapi sering kali terdistorsi oleh tindakan anarkis segelintir oknum.
Anarki dalam demonstrasi tidak pernah menghasilkan perubahan kebijakan, melainkan menimbulkan kerugian material dan citra negatif bagi gerakan sosial itu sendiri.
Perlawanan rakyat seharusnya berbasis argumentasi, solidaritas, dan kreativitas politik, bukan destruksi.
Peristiwa Makassar adalah pelajaran penting bahwa aspirasi dan anarki tidak dapat berjalan beriringan.
Jika tujuan dari demonstrasi adalah perubahan, maka metode perjuangan harus bermartabat.
Merusak fasilitas negara sama saja dengan merugikan rakyat. Maka, gerakan rakyat ke depan perlu menegaskan garis pembeda yang jelas antara kritik yang sehat dan tindakan destruktif, agar perjuangan tidak kehilangan makna dan legitimasi di mata publik.